Pidana Mati di Indonesia: Pro dan Kontra

🏛️ Pendahuluan

Pidana mati atau hukuman mati merupakan salah satu bentuk sanksi paling berat dalam sistem hukum pidana Indonesia. Hukuman ini menimbulkan perdebatan panjang antara mereka yang mendukung atas dasar keadilan dan efek jera, dan mereka yang menolak atas dasar hak asasi manusia (HAM) serta moralitas kemanusiaan.
Perdebatan ini menunjukkan adanya ketegangan antara keadilan retributif (pembalasan) dan keadilan restoratif (pemulihan) dalam hukum nasional yang terus berkembang.


⚖️ Dasar Hukum Pidana Mati di Indonesia

Pidana mati masih diatur dan diakui secara sah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun undang-undang khusus, di antaranya:

  • Pasal 10 KUHP → menyebut pidana mati sebagai salah satu jenis pidana pokok.
  • Pasal 340 KUHP → mengatur hukuman mati bagi pelaku pembunuhan berencana.
  • Undang-Undang Narkotika No. 35 Tahun 2009, UU Terorisme, dan UU Pemberantasan Korupsi, juga mencantumkan hukuman mati dalam kasus tertentu.

Selain itu, KUHP baru 2022 masih mempertahankan pidana mati, tetapi dengan mekanisme bersyarat — yakni dapat diubah menjadi pidana seumur hidup apabila terpidana menunjukkan penyesalan dan perbaikan perilaku dalam waktu 10 tahun.


⚖️ Alasan yang Mendukung Pidana Mati (Pro)

  1. Efek Jera bagi Pelaku Kejahatan Berat
    Pendukung pidana mati berpendapat bahwa hukuman ini dapat menimbulkan ketakutan bagi calon pelaku, terutama dalam kasus narkotika, pembunuhan berencana, atau terorisme.
  2. Keadilan bagi Korban dan Keluarga
    Banyak masyarakat meyakini bahwa keadilan sejati hanya tercapai jika pelaku kejahatan yang menyebabkan penderitaan besar mendapat balasan setimpal.
  3. Perlindungan Kepentingan Publik dan Negara
    Pidana mati dianggap sebagai upaya menjaga keamanan nasional dan ketertiban umum, khususnya terhadap kejahatan yang mengancam kehidupan banyak orang.
  4. Diterima dalam Konteks Hukum Nasional
    Pidana mati masih menjadi bagian dari sistem hukum positif Indonesia dan belum dicabut oleh konstitusi.

⚖️ Alasan Penolakan terhadap Pidana Mati (Kontra)

  1. Bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM)
    Hak untuk hidup merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun (non-derogable rights), sebagaimana tercantum dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 3 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
  2. Tidak Menjamin Efek Jera
    Banyak penelitian menunjukkan bahwa pidana mati tidak selalu menurunkan tingkat kejahatan secara signifikan. Faktor sosial dan ekonomi sering lebih berpengaruh terhadap perilaku kriminal.
  3. Risiko Kekeliruan dalam Putusan (Miscarriage of Justice)
    Kesalahan dalam proses hukum dapat menyebabkan eksekusi terhadap orang yang sebenarnya tidak bersalah, dan hal ini tidak dapat diperbaiki setelah hukuman dijalankan.
  4. Bertentangan dengan Tren Internasional
    Banyak negara, terutama di Eropa dan sebagian Asia, telah menghapus hukuman mati sebagai bentuk penghormatan terhadap hak asasi manusia universal.
  5. Aspek Moral dan Agama
    Sebagian kalangan menilai bahwa kehidupan manusia adalah hak Tuhan yang tidak bisa diambil oleh siapa pun, termasuk negara.

💡 Perspektif Hukum Internasional

Dalam konteks global, Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan hukuman mati meski banyak tekanan dari komunitas internasional.

  • Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005, tidak secara langsung melarang hukuman mati, tetapi mendorong pembatasan dan penghapusan bertahap.
  • Komisi HAM PBB juga menyerukan agar negara-negara anggota, termasuk Indonesia, menerapkan moratorium eksekusi mati.

Namun pemerintah Indonesia berpendapat bahwa hukuman mati masih relevan sebagai bentuk keadilan bagi kejahatan luar biasa (extraordinary crimes).


⚖️ Dinamika dan Reformasi Hukum Terkini

KUHP baru 2022 memperkenalkan konsep pidana mati bersyarat.
Artinya, eksekusi dapat ditunda hingga 10 tahun, dan jika selama masa itu terpidana menunjukkan penyesalan serta berperilaku baik, maka hukuman dapat diubah menjadi pidana seumur hidup.

Model ini merupakan bentuk kompromi antara pandangan yang pro dan kontra, sekaligus menunjukkan arah baru sistem hukum pidana Indonesia yang lebih humanis dan rehabilitatif.


🧠 Analisis dan Refleksi

Debat mengenai pidana mati bukan sekadar persoalan hukum, melainkan persoalan moral, politik, dan kemanusiaan.
Pihak yang mendukung menekankan aspek keadilan dan keamanan publik, sementara pihak yang menolak menonjolkan nilai kemanusiaan dan hak untuk hidup.
Keduanya memiliki dasar argumentasi yang sah, namun negara harus menempatkan keadilan dalam kerangka hukum yang berperikemanusiaan dan tidak diskriminatif.


🧩 Kesimpulan

Pidana mati di Indonesia merupakan isu yang kompleks dan sensitif. Meskipun masih sah secara hukum, penerapannya menuntut kehati-hatian, transparansi, dan rasa kemanusiaan yang tinggi.
Kedepannya, arah kebijakan hukum pidana Indonesia tampaknya bergerak menuju sistem pidana bersyarat dan rehabilitatif, di mana penghormatan terhadap hak asasi manusia berjalan berdampingan dengan penegakan keadilan bagi masyarakat.